Alief memberi warna dalam kehidupanku. Warna yang banyak mengajarkan aku tentang bagaimana menghargai orang-orang terdekat. Aku patut bersyukur karena ditakdirkan bertemu dengannya. Mungkin dia tak pernah sadar telah menawarkan hal itu padaku. Namun, sekali lagi aku harus mengucapkan terima kasih padanya.
Sayangnya, dunia Alief adalah dunia kesepian. Dunia yang tak memiliki orang-orang yang ingin benar-benar berbagi kebahagiaan dengannya, setidaknya itu yang dialaminya di sekolah. Di sekolah, dia tidak memiliki teman, meski tidak sepenuhnya seperti itu, hanya saja semua teman di kelas Cuma berklamufase menawarkan persahabatan dengan Alief. Aku tahu betul dengan yang satu ini.
Kalau saja Alief tidak tergolong siswa yang cerdas bukan kepalang di kelas, mungkin Alief akan tersingkir dari percaturan pergaulan di sekolah. Tidak perlu auh-jauh kalau aku ingin memberi bukti, sesaat PR dikumpulkan, misalnya. Alief dengan sifatnya yang berharap dapat menjaring teman sebanyak mungkin , akan meminjamkan PR-nya pada teman manapun yang ingin meminjamnya. Bagiku, ini sama buruknya dengan berbohong pada diri sendiri!
Aku akui, Alief memang polos dengan sifatnya itu, tapi apa gara-gara itu dia tidak memiliki teman, atau hanya gara-gara kecerdasannya, dia baru bisa memiliki teman?
Di hari pertama aku menjadi murid baru di kelas ini, aku langsung dijejali banyak nasehat untuk tidak mendekati si kuper Alief, alasannya klise… kalau aku sudah berteman dengan Alief, kecil kemungkinan aku bisa mendapatkan lebih banyak teman yang popular di sekolah, sekaliber Egi contohnya. Tapi, aku bukan orang yang didoktrin begitu saja dengan petuah dengan mereka yang menurutku nggak masuk akal. Aku tahu mana yang harus aku pilih dan aku memilih untuk tidak berpihak pada mereka.
Aku juga masih belum terlalu bisa memahami kenapa Alief melarangku untuk tidak mendekatinya. Sepertinya dia masih ragu engan keseriusanku yang ingin berteman dengannya. Aku masih ingat kata-kata terakhirnya ketika di ruangan perpustakaan seminggu yang lalu. Hari itu aku memang sengaja mengikutinya, sekedar agar aku lebih mngenalnya.
“Kamu ngapain duduk di deket aku?” tanyanya hari itu.
“Lho, emangnya ada larangan ya buat duduk di sini,” jawabku dengan nada sedikit berbisik tapi bercampur salah tingkah takut ketahuan ibu penjaga perpus. Setelah mengatakan itu, aku berhenti dari sikapku yang rada kekanakan tadi, soalnya Aliefmenatapku dengan pandangan yang seolah bilang “dasar bego”.
“Iya deh, aku dudk di sini supaya lebih deket dengan kamu aja.”
Alief kembali meneruskan kegiatan bacanya, dia membalik satu halaman, kelihatannya sangat serius.
“Lebih baik nggak usah deh ganggu aku lagi. Ntar kamu kena sial gara-gara nimbrung sama aku,”
Aku mengerutkan jidat , bingung.
“Emang kenapa? Sial kenapa coba?”
“Sial nggak bisa dapet banyak temen”, kata Alief pendek tanpa menggubris pertanyaanku lagi.
Sejak saat itu, aku mengamati Alief dan bisa menyimpulkan sejauh ini, kalau Alief membangun dunia kesepiannya di sekolah.
******
Ruangan mendadak diam tanpa suara saat Pak Adrian, guru Kimia yang mengajar di kelas kami, mengadakan ulangan dadakan. Sesekali dengan matanya yang setajam mata elang, Pak Adrian mengawasi kami kalau-kalau saja ada dari kami yang mencontek.
Dari posisi dudukku di urutan tiga dan bersebelahan dengan Adnan,yang juga bersenderan langsung dengan dinding yang memuat jendela-jendela kelas, aku bisa melihat beberapa kertas mendarat di atas meja Adrian. Semua kertas itu dari siswa-siswa yang ingin meminta jawaban dari Alief. Mereka mendaratkan kertas-kertas itu di saat Pak Adrian luput memperhatikan kami. Alief menyingkirkan satu-persatu ketas-kertas itu ke laci mejanya. Namun, tak satu pun dari tumpukan itu digubris Alief, dia terus mengerjakan setiap tugas ulangannya bahkan hingga ulangan slesai.
“Lo gimana sih, Fin? Kan gue tadi minta jawaban nomor dua dan lima. Kok lo nggak ngasih ke gue, sih?” gerutu Maya dengan berkacak pinggang, meski bicara dengan nada membentak. Posisi duduknya dua bangku di belakang Alief.
Belum sempat Alief menjawab, dia sudah ditodong pertanyaan dari Jihan yang adi juga mendaratkan kertas ke meja Alief.
“Iya, gara-gara lo nggak bagiin jawaban dari tujuh sampe sepuluh, jadinya tiga soal itu nggak gue jawab, deh.”
“Maafin gue, ya,” jawab Alief sekenanya tapi sepertinya di dalam pikirannya dia berusaha membuat satu alasa yang masuk akal, yang mau tidak mau diterima teman-teman yang mngerubunginya lantaran dia tidak memberi jawaban.
“Tapi kan kalian tau, Pak Adrian itu kayak gimana. Kalo ketahuan, kita sekelas bisa dapet nilai jelek semua. Untung aja tadi nggak ketahuan waktu kalian ngelemparin kertas ke meja gue.”
Aku tak pernah tahu apa yang ada di pikiran Alief sekarang, tapi aneh rasanya kalau baru sekarang dia melakukan hal itu, bersikap tegas untuk ttidak memberi jawaban saat ulangan. Jadi selama ini, kenapa dia terlalu baik sama anak-anak yang bersikap mala situ? Aku harus cari tahu yang sebenarnya.
Aku memang tak pernah salah kalau Alief telah berhasil mencuri perhatianku.
******
Kantin terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa saja yang waktu istirahat. Tapi aku melihat Alief sedang duduk sambil membaca buku di meja dekat pojokan kantin.
“Aku boleh gabung duduk, nggak?” tanyaku dengan sikap hati-hati, takut kalau penolakan lagi yang bakal aku terima.
Alief mendongakkan kepalanya dan melihatku yang masih berdiri mematung menunggu jawabannya.
“Ya udah, duduk aja kalo mau duduk,”
Aku duduk persisi di hadapannya yang masih setia membaca buku.
“Hmm… aku kok ngerasa kamu beda banget deh hari ini.”
Akhirnya aku bisa memancing reaksi Alief yang memang sengaja aku lakukan.
“Iya, aku suka aja ngeliat sikap kamu di kelas tadi, kamu emang harus tegas dengan anak-anak yang mala situ. Seharusnya, kamu ngelakuin hal itu dari dulu, Lif!”
“Kamu suka?” Tanya Alief padaku, aku segera menjawabnya dengan anggukan kepala setuju.
“Tapi setelah kejadian tadi, aku yakin kalau aku bener-bener nggak bakalan bisa dapetin temen lagi.” Alief memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Kamu tau, bukan tanpa sebab aku mau ngasih mereka semua hal yang mereka mau dari aku?”
Dia menatapku sebentar lalu melanjutkan ucapannya.
“Aku tau, kok!” jawabku dengan tanpa berhati-hati karena ini adalah fakta yang sudah dari dulu ada di otakku tentang Alief dan dunianya.
“Hanya demi mendapatkan teman, aku rela ngelakuin apa aja demi mereka. Dan demi mendapatkan teman juga, aku harus menahan semua rasa sakit akibat perbuatanku buat mereka.”
“Menahan semua rasa sakit?”
“Aku bisa ngerasain rasa sakit yang luar biasa kalo aku ngelakuin hal yang nggak bener, apalagi kalo harus bersikap nggak jujur. Aku ngerasa seluruh badanku panas kebakar api tiap malam. Sakitnya luar biasa, saMpe-sampe aku nggak bisa tidur, tapi aku berusaha menahannya hanya demi ngedapetin temen.”
Aku kaget mendengar penuturan Alief, sampai sebegitu parahkah usahanya untuk menjaring teman? Kasihan sekali Alief. Aku, tanpa harus diminta pun, ingin menjadi temannya. Jauh sebelum dia mengatakan hal yang sejujurnya namun jauh lebih serius setelah aku tahu kalau dia ingin sekali memiliki teman yang memang tulus mau berteman dengannya.
“Tapi mau gimana lagi, aku emang seperti ini… kuper nggak jelas, jadi mana ada orang yang berteman sama aku.” Kata Alief menyalahkan dirinya sendiri.
“Aku emang nggak bisa bergaul, tapi bukan berarti aku nggak memperlakukan seorang teman dengan baik. Kalo bukan gara-gara aku dikaruniai Tuhan ingatan eidetik dan fotografis yang membuat aku kelihatan pintar, mungkin nggak satu pun dari mereka mau menegurku sama sekali.”
Aku merasa tertarik dengan ucapannya barusan. Ingatan eidetickdan fotografis? Apa maksudnya?
“Ingatan eidetic dan fotografis? Apa itu?”
“Itu semacam kemampuan untuk mengingat semua hal dengan akurat. Orang-orang dengan kemampuan eidetic dan fotografis seperti aku umumnya bisa mengingat setiap detail gambar, suara, benda bahkan kata-kata yang didengar dengan sempurna.”
Kalau tadi aku kaget, sekarang aku malah tercengang mendengar apa yang dikatakannya. Aku kagum dengan karunia yang dianugerahkan kepada Tuhan padanya, namun di sisi lain juga menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Apa jadinya kalau aku yang diberi karunia itu? Satu sentuhan bau, pandangan, atau suara bisa mengantarkan kembali ke semua kenangan dan pengalaman yang sudah jauh aku lupakan. Untuk sebagian orang, termasuk aku, ingatan akan terus bercokol di kepala kalau pengalaman yang dialami hanya sebatas kenangan menyakitkan, misalnya putus cinta atau ditinggal orang yang disayangi, bukan malah keseluruhan dari pengalaman hidup yang pernah dijalani.
“Kamu mungkin nggak percaya kalo aku bisa mengulang lagi semua penjelasan Pak Adrian seminggu yang lalu, semuanya, setiapkata yang keluar dari bibirnya!”
“Semuanya?” tanyaku jauh lebih kaget dari sebelumnya.
“Aku tau kamu pasti kaget mendenganya tapi itulah yang aku alami. Kamu mungkin bakal ngerasa kalo aku ini hebat banget udah dapet ingatan ini karena mungkin nggak bakal capek-capek belajar buat ulangan, iya kan?”
Aku tak menjawab karena aku mengamini apa yang dikatakannya.
“Tapi buat aku ini menyakitkan. Kamu tau gara-gara ingatan ini, aku mau nggak mau harus terima banyak hal, bahkan aku nggak bisa ngelupain apa yang pernah aku liat yang justru nggak ingin aku liat.”
Menyakitkan? Mungkin aku tidak akan bisa measakannya kalau tidak aku sendiri yang mengalaminya. Apa karena Alief dianggap super jenius hingga dicap sok tahu segalanya? Atau apakah ada sesuatu pengalaman pahit yang tidak bisa dilupakan Alief dari ingatannya yang super itu. Pengalaman pahit? Kalau begitu apa bedanya Alief dengan aku yang sama dengan orang pada umunya?
******
Sekarang aku dan Alief bercanda di bangku yang terbuat dari beton. Ada empat buah bangku seperti ini yang sengaja dibuat untuk mengitari klam air mancur mini di sekolah kami. Sejak saat itu, aku menjadi temannya, karena itulah yang aku inginkan dari pertama kali aku pindah ke sekolah ini. Aku tidak peduli orangorang beranggapan apa tentang Alief, sekalipun Alief digelari cowok terkuper.
Mengenal ingatan eidetic an fotografis yang dia miliki itu hanya aku anggap sebagai karunia Tuhan yang memang pantas untuknya. Sebenarnya, setiap orang bisa melatih setiap ingatan yang pernah singgah, tapi mungkin tidak akan seakurat orang yang meiliki ingatan eidetic dan fotografis tadi.
“ Oh ya, Fin… coba kamu bisa baca pikiran juga, ya! Mungkin, bakal lebih klop lagi kelebihan kamu,” kataku dengan canda.
“Nggak mau ah, nggak enak banget kalo harus dengerin semua yang ada di kepala orang. Kalo sampe tau, itu sama aja mereka nggak punya rahasia atau bahkan nggak bisa punya rahasia di depan aku.”
“Iya juga , ya…” pikirku.
TET..TET..TET..
Bel tanda masuk berbunyi nyaring. Kami pun bergegas berjalan menuju kelas sambil terus berbincang di sepanjang koridor.
******
Seminggu kemudian, aku sadar bahwa aku terkurung si sebuah ruangan kecil. Pengap sekali baunya. Pintu di ruangan itu terkunci rapat dan aku tengah diikat dengan tali diatas ranjang di ruangan itu. Aku meronta. Menjerit.
Kemana sekolahku? Kemana teman-temanku? Kemana Alief?
Seketika aku melihat Alief tengah duduk di sudut ruangan. Dia tengah menatapku tajam.
“Lif, aku dimana?” tanyaku memelas.
“…” Alief tetap diam dengan tatapa tajamnya.
Tiba-tiba dia hilang dengan tatapannya. Pudar.
“Alief!! Aku dimana?” teriakku sekencang mungkin. Aku menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu ruangan itu terbuka. Mama melangkah masuk dengan matanya yang sembab. Dia mendekati aku.
“Diva, kamu kenapa?” Mama bertanya sambil menahan tangis.
“Ma, tadi Diva liat Alief ada di sana, Ma!!” tanganku menunjuk ke arah sudut ruangan itu.
“Stop, Diva!!! ” Mama histeris dan memelukku erat.
Entah apa yang terjadi, namun aku merasa terlalu capek. Ternyata, seorang wanita berseragam putih telah menyuntikkan sesuatu ke tubuhku. Aku meronta-ronta, berteriak dan menagis hingga akhirnya aku terlelap dalam tidurku.
******
Hari ini, aku mengingat pengalamanku tentang peristiwa itu. Peristiwa setahun lalu, dimana aku harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa karena teman-teman dan keluargaku menganggap aku gila. Mereka menyangka aku gila? Itu benar.
Belakangan, aku menyadari bahwa sosok bernama Alief adalah teman khayalanku. Dia hanya ada dalam imajinasiku, namun tetap nyata bagiku. Dia masih tetap muncul dalam keseharianku sekarang, namun aku mengacuhkannya. Dia terus mengajakku berbicara, bercanda, tapi aku tetap diam.
Selamat tinggal Alief. Walaupun Alief bukan saja memberi banyak warna dalam hidupku tapi juga mengajarkan aku satu hal yang mungkin sebagian orang sudah banyak melupakannya, kalau ternyata tidak cukup kata hebat untuk menggambarkan kemampuan dari ingatan seorang manusia. Bahkan, seorang manusia khayalan sekalipun.
Sayangnya, dunia Alief adalah dunia kesepian. Dunia yang tak memiliki orang-orang yang ingin benar-benar berbagi kebahagiaan dengannya, setidaknya itu yang dialaminya di sekolah. Di sekolah, dia tidak memiliki teman, meski tidak sepenuhnya seperti itu, hanya saja semua teman di kelas Cuma berklamufase menawarkan persahabatan dengan Alief. Aku tahu betul dengan yang satu ini.
Kalau saja Alief tidak tergolong siswa yang cerdas bukan kepalang di kelas, mungkin Alief akan tersingkir dari percaturan pergaulan di sekolah. Tidak perlu auh-jauh kalau aku ingin memberi bukti, sesaat PR dikumpulkan, misalnya. Alief dengan sifatnya yang berharap dapat menjaring teman sebanyak mungkin , akan meminjamkan PR-nya pada teman manapun yang ingin meminjamnya. Bagiku, ini sama buruknya dengan berbohong pada diri sendiri!
Aku akui, Alief memang polos dengan sifatnya itu, tapi apa gara-gara itu dia tidak memiliki teman, atau hanya gara-gara kecerdasannya, dia baru bisa memiliki teman?
Di hari pertama aku menjadi murid baru di kelas ini, aku langsung dijejali banyak nasehat untuk tidak mendekati si kuper Alief, alasannya klise… kalau aku sudah berteman dengan Alief, kecil kemungkinan aku bisa mendapatkan lebih banyak teman yang popular di sekolah, sekaliber Egi contohnya. Tapi, aku bukan orang yang didoktrin begitu saja dengan petuah dengan mereka yang menurutku nggak masuk akal. Aku tahu mana yang harus aku pilih dan aku memilih untuk tidak berpihak pada mereka.
Aku juga masih belum terlalu bisa memahami kenapa Alief melarangku untuk tidak mendekatinya. Sepertinya dia masih ragu engan keseriusanku yang ingin berteman dengannya. Aku masih ingat kata-kata terakhirnya ketika di ruangan perpustakaan seminggu yang lalu. Hari itu aku memang sengaja mengikutinya, sekedar agar aku lebih mngenalnya.
“Kamu ngapain duduk di deket aku?” tanyanya hari itu.
“Lho, emangnya ada larangan ya buat duduk di sini,” jawabku dengan nada sedikit berbisik tapi bercampur salah tingkah takut ketahuan ibu penjaga perpus. Setelah mengatakan itu, aku berhenti dari sikapku yang rada kekanakan tadi, soalnya Aliefmenatapku dengan pandangan yang seolah bilang “dasar bego”.
“Iya deh, aku dudk di sini supaya lebih deket dengan kamu aja.”
Alief kembali meneruskan kegiatan bacanya, dia membalik satu halaman, kelihatannya sangat serius.
“Lebih baik nggak usah deh ganggu aku lagi. Ntar kamu kena sial gara-gara nimbrung sama aku,”
Aku mengerutkan jidat , bingung.
“Emang kenapa? Sial kenapa coba?”
“Sial nggak bisa dapet banyak temen”, kata Alief pendek tanpa menggubris pertanyaanku lagi.
Sejak saat itu, aku mengamati Alief dan bisa menyimpulkan sejauh ini, kalau Alief membangun dunia kesepiannya di sekolah.
******
Ruangan mendadak diam tanpa suara saat Pak Adrian, guru Kimia yang mengajar di kelas kami, mengadakan ulangan dadakan. Sesekali dengan matanya yang setajam mata elang, Pak Adrian mengawasi kami kalau-kalau saja ada dari kami yang mencontek.
Dari posisi dudukku di urutan tiga dan bersebelahan dengan Adnan,yang juga bersenderan langsung dengan dinding yang memuat jendela-jendela kelas, aku bisa melihat beberapa kertas mendarat di atas meja Adrian. Semua kertas itu dari siswa-siswa yang ingin meminta jawaban dari Alief. Mereka mendaratkan kertas-kertas itu di saat Pak Adrian luput memperhatikan kami. Alief menyingkirkan satu-persatu ketas-kertas itu ke laci mejanya. Namun, tak satu pun dari tumpukan itu digubris Alief, dia terus mengerjakan setiap tugas ulangannya bahkan hingga ulangan slesai.
“Lo gimana sih, Fin? Kan gue tadi minta jawaban nomor dua dan lima. Kok lo nggak ngasih ke gue, sih?” gerutu Maya dengan berkacak pinggang, meski bicara dengan nada membentak. Posisi duduknya dua bangku di belakang Alief.
Belum sempat Alief menjawab, dia sudah ditodong pertanyaan dari Jihan yang adi juga mendaratkan kertas ke meja Alief.
“Iya, gara-gara lo nggak bagiin jawaban dari tujuh sampe sepuluh, jadinya tiga soal itu nggak gue jawab, deh.”
“Maafin gue, ya,” jawab Alief sekenanya tapi sepertinya di dalam pikirannya dia berusaha membuat satu alasa yang masuk akal, yang mau tidak mau diterima teman-teman yang mngerubunginya lantaran dia tidak memberi jawaban.
“Tapi kan kalian tau, Pak Adrian itu kayak gimana. Kalo ketahuan, kita sekelas bisa dapet nilai jelek semua. Untung aja tadi nggak ketahuan waktu kalian ngelemparin kertas ke meja gue.”
Aku tak pernah tahu apa yang ada di pikiran Alief sekarang, tapi aneh rasanya kalau baru sekarang dia melakukan hal itu, bersikap tegas untuk ttidak memberi jawaban saat ulangan. Jadi selama ini, kenapa dia terlalu baik sama anak-anak yang bersikap mala situ? Aku harus cari tahu yang sebenarnya.
Aku memang tak pernah salah kalau Alief telah berhasil mencuri perhatianku.
******
Kantin terlihat sepi, hanya ada beberapa siswa saja yang waktu istirahat. Tapi aku melihat Alief sedang duduk sambil membaca buku di meja dekat pojokan kantin.
“Aku boleh gabung duduk, nggak?” tanyaku dengan sikap hati-hati, takut kalau penolakan lagi yang bakal aku terima.
Alief mendongakkan kepalanya dan melihatku yang masih berdiri mematung menunggu jawabannya.
“Ya udah, duduk aja kalo mau duduk,”
Aku duduk persisi di hadapannya yang masih setia membaca buku.
“Hmm… aku kok ngerasa kamu beda banget deh hari ini.”
Akhirnya aku bisa memancing reaksi Alief yang memang sengaja aku lakukan.
“Iya, aku suka aja ngeliat sikap kamu di kelas tadi, kamu emang harus tegas dengan anak-anak yang mala situ. Seharusnya, kamu ngelakuin hal itu dari dulu, Lif!”
“Kamu suka?” Tanya Alief padaku, aku segera menjawabnya dengan anggukan kepala setuju.
“Tapi setelah kejadian tadi, aku yakin kalau aku bener-bener nggak bakalan bisa dapetin temen lagi.” Alief memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Kamu tau, bukan tanpa sebab aku mau ngasih mereka semua hal yang mereka mau dari aku?”
Dia menatapku sebentar lalu melanjutkan ucapannya.
“Aku tau, kok!” jawabku dengan tanpa berhati-hati karena ini adalah fakta yang sudah dari dulu ada di otakku tentang Alief dan dunianya.
“Hanya demi mendapatkan teman, aku rela ngelakuin apa aja demi mereka. Dan demi mendapatkan teman juga, aku harus menahan semua rasa sakit akibat perbuatanku buat mereka.”
“Menahan semua rasa sakit?”
“Aku bisa ngerasain rasa sakit yang luar biasa kalo aku ngelakuin hal yang nggak bener, apalagi kalo harus bersikap nggak jujur. Aku ngerasa seluruh badanku panas kebakar api tiap malam. Sakitnya luar biasa, saMpe-sampe aku nggak bisa tidur, tapi aku berusaha menahannya hanya demi ngedapetin temen.”
Aku kaget mendengar penuturan Alief, sampai sebegitu parahkah usahanya untuk menjaring teman? Kasihan sekali Alief. Aku, tanpa harus diminta pun, ingin menjadi temannya. Jauh sebelum dia mengatakan hal yang sejujurnya namun jauh lebih serius setelah aku tahu kalau dia ingin sekali memiliki teman yang memang tulus mau berteman dengannya.
“Tapi mau gimana lagi, aku emang seperti ini… kuper nggak jelas, jadi mana ada orang yang berteman sama aku.” Kata Alief menyalahkan dirinya sendiri.
“Aku emang nggak bisa bergaul, tapi bukan berarti aku nggak memperlakukan seorang teman dengan baik. Kalo bukan gara-gara aku dikaruniai Tuhan ingatan eidetik dan fotografis yang membuat aku kelihatan pintar, mungkin nggak satu pun dari mereka mau menegurku sama sekali.”
Aku merasa tertarik dengan ucapannya barusan. Ingatan eidetickdan fotografis? Apa maksudnya?
“Ingatan eidetic dan fotografis? Apa itu?”
“Itu semacam kemampuan untuk mengingat semua hal dengan akurat. Orang-orang dengan kemampuan eidetic dan fotografis seperti aku umumnya bisa mengingat setiap detail gambar, suara, benda bahkan kata-kata yang didengar dengan sempurna.”
Kalau tadi aku kaget, sekarang aku malah tercengang mendengar apa yang dikatakannya. Aku kagum dengan karunia yang dianugerahkan kepada Tuhan padanya, namun di sisi lain juga menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Apa jadinya kalau aku yang diberi karunia itu? Satu sentuhan bau, pandangan, atau suara bisa mengantarkan kembali ke semua kenangan dan pengalaman yang sudah jauh aku lupakan. Untuk sebagian orang, termasuk aku, ingatan akan terus bercokol di kepala kalau pengalaman yang dialami hanya sebatas kenangan menyakitkan, misalnya putus cinta atau ditinggal orang yang disayangi, bukan malah keseluruhan dari pengalaman hidup yang pernah dijalani.
“Kamu mungkin nggak percaya kalo aku bisa mengulang lagi semua penjelasan Pak Adrian seminggu yang lalu, semuanya, setiapkata yang keluar dari bibirnya!”
“Semuanya?” tanyaku jauh lebih kaget dari sebelumnya.
“Aku tau kamu pasti kaget mendenganya tapi itulah yang aku alami. Kamu mungkin bakal ngerasa kalo aku ini hebat banget udah dapet ingatan ini karena mungkin nggak bakal capek-capek belajar buat ulangan, iya kan?”
Aku tak menjawab karena aku mengamini apa yang dikatakannya.
“Tapi buat aku ini menyakitkan. Kamu tau gara-gara ingatan ini, aku mau nggak mau harus terima banyak hal, bahkan aku nggak bisa ngelupain apa yang pernah aku liat yang justru nggak ingin aku liat.”
Menyakitkan? Mungkin aku tidak akan bisa measakannya kalau tidak aku sendiri yang mengalaminya. Apa karena Alief dianggap super jenius hingga dicap sok tahu segalanya? Atau apakah ada sesuatu pengalaman pahit yang tidak bisa dilupakan Alief dari ingatannya yang super itu. Pengalaman pahit? Kalau begitu apa bedanya Alief dengan aku yang sama dengan orang pada umunya?
******
Sekarang aku dan Alief bercanda di bangku yang terbuat dari beton. Ada empat buah bangku seperti ini yang sengaja dibuat untuk mengitari klam air mancur mini di sekolah kami. Sejak saat itu, aku menjadi temannya, karena itulah yang aku inginkan dari pertama kali aku pindah ke sekolah ini. Aku tidak peduli orangorang beranggapan apa tentang Alief, sekalipun Alief digelari cowok terkuper.
Mengenal ingatan eidetic an fotografis yang dia miliki itu hanya aku anggap sebagai karunia Tuhan yang memang pantas untuknya. Sebenarnya, setiap orang bisa melatih setiap ingatan yang pernah singgah, tapi mungkin tidak akan seakurat orang yang meiliki ingatan eidetic dan fotografis tadi.
“ Oh ya, Fin… coba kamu bisa baca pikiran juga, ya! Mungkin, bakal lebih klop lagi kelebihan kamu,” kataku dengan canda.
“Nggak mau ah, nggak enak banget kalo harus dengerin semua yang ada di kepala orang. Kalo sampe tau, itu sama aja mereka nggak punya rahasia atau bahkan nggak bisa punya rahasia di depan aku.”
“Iya juga , ya…” pikirku.
TET..TET..TET..
Bel tanda masuk berbunyi nyaring. Kami pun bergegas berjalan menuju kelas sambil terus berbincang di sepanjang koridor.
******
Seminggu kemudian, aku sadar bahwa aku terkurung si sebuah ruangan kecil. Pengap sekali baunya. Pintu di ruangan itu terkunci rapat dan aku tengah diikat dengan tali diatas ranjang di ruangan itu. Aku meronta. Menjerit.
Kemana sekolahku? Kemana teman-temanku? Kemana Alief?
Seketika aku melihat Alief tengah duduk di sudut ruangan. Dia tengah menatapku tajam.
“Lif, aku dimana?” tanyaku memelas.
“…” Alief tetap diam dengan tatapa tajamnya.
Tiba-tiba dia hilang dengan tatapannya. Pudar.
“Alief!! Aku dimana?” teriakku sekencang mungkin. Aku menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu ruangan itu terbuka. Mama melangkah masuk dengan matanya yang sembab. Dia mendekati aku.
“Diva, kamu kenapa?” Mama bertanya sambil menahan tangis.
“Ma, tadi Diva liat Alief ada di sana, Ma!!” tanganku menunjuk ke arah sudut ruangan itu.
“Stop, Diva!!! ” Mama histeris dan memelukku erat.
Entah apa yang terjadi, namun aku merasa terlalu capek. Ternyata, seorang wanita berseragam putih telah menyuntikkan sesuatu ke tubuhku. Aku meronta-ronta, berteriak dan menagis hingga akhirnya aku terlelap dalam tidurku.
******
Hari ini, aku mengingat pengalamanku tentang peristiwa itu. Peristiwa setahun lalu, dimana aku harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa karena teman-teman dan keluargaku menganggap aku gila. Mereka menyangka aku gila? Itu benar.
Belakangan, aku menyadari bahwa sosok bernama Alief adalah teman khayalanku. Dia hanya ada dalam imajinasiku, namun tetap nyata bagiku. Dia masih tetap muncul dalam keseharianku sekarang, namun aku mengacuhkannya. Dia terus mengajakku berbicara, bercanda, tapi aku tetap diam.
Selamat tinggal Alief. Walaupun Alief bukan saja memberi banyak warna dalam hidupku tapi juga mengajarkan aku satu hal yang mungkin sebagian orang sudah banyak melupakannya, kalau ternyata tidak cukup kata hebat untuk menggambarkan kemampuan dari ingatan seorang manusia. Bahkan, seorang manusia khayalan sekalipun.
Comments
Post a Comment