Sebuah Tinjauan Penerapakan Kurikulum IGCSE di SMA Negeri 2 Sekayu
(tugas artikel bahasa indonesia, oleh ; Lestari Wevriandini dan Duwi Riyadi Putra)
Pagi yang cerah dan tertutup kabut tidak menghalangi semangat beberapa remaja berseragam khas itu untuk pergi ke sekolah. Dengan bermodalkan sepeda pamannya, Gerry Utama tetap bersemangat mengayuh kencang sepedanya di pagi hari bahkan mungkin sedikit lebih pagi untuk pergi ke sekolah bagi siswa sekolah lain di kota itu. Tampak beberapa remaja berseragam sama juga melakukan aktivitas yang sama seperti yang dilakukan oleh Gerry. Beberapa dari mereka bahkan ada yang menggunakan jasa angkutan umum walaupun tidak sedkit juga yang meiliki alat transportasi pribadi untuk berangkat ke sekolah.
Perlahan dari kejauhan para remaja berseragam khas tersebut lambat laun mendekati sebuah bangunan nan elok indah dengan gerbang megah bertuliskan SMA NEGERI 2 SEKAYU. Sebuah sekolah negeri yang secara resmi menyandang gelar sebagai sekolah berstandar internasional di sebuah kabupaten dalam provinsi Sumatera Selatan. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, aktivitas berbeda pun tampak di pekarangan gedung sekolah beraksitektur minimalis ini. Seluruh peserta didik membentuk barisan dan melaksanakan kegiatan seremonial layaknya sebuah upacara mini atau yang lebih dikenal dengan apel.
Namun, hal menarik yang akan kami bahas dalam artikel ini tidaklah mengenai permasalahan apel ataupun jadwal masuk yang sangat “subuh” ini, melainkan permasalahan yang membetot perhatian khalayak ramai sehingga para orangtua secara berbondong-bondong menyerahkan nasib anaknya selama tiga tahun ke depan berada pada sekolah itu. Hal ini adalah kurikulum asing yang diterapkan dengan singkatan IGCSE. Asing mungkin iya bagi para pembaca, namun tidak bagi peserta didik di sekolah yang berdiri di awal tahun 90-an itu.
International General Certificate Secondary Education atau sertifikat internasional pendidikan menengah adalah kurikulum yang dipersiapkan untuk menghadapi ujian internasional bagi siswa sekolah menengah. Idealnya, IGCSE dikhususkan untuk anak berusia 14-16 tahun, dan untuk menyiapkan siswa ke jenjang berikutnya, seperti AS level, A level dan program diploma IB di Negara asalnya, Inggris. Mungkin inilah yang membuat sekolah ini untuk bersedia mengimplementasikan kurikulum yang serupa, mengingat untk mendapatkan gelar sekolah bertaraf internasional membutuhkan suatu bukti yang “internasional” juga.
Pada awal tahun 2008, sekolah yang merintis citra sebagai sekolah unggulan ini mendapatkan kepercayaan penuh dari pemerintah daerah untuk mengemban amanat sebagai salah satu asset daerah yang harus ditingkatkan dalam berbagai hal, termasuk fasilitas yang memadai. Berbagai hal dan terobosan terus menerus dilakukan oleh pemerintah daerah demi mewujudkan ambisi yang cukup mulia tersebut. Sebut saja, peminangan Ibu Wien Sukarsih yang didaulat sebagai kepala sekolah baru di sekolah yang mengemban citra baru tersebut. Kerjasama dan kontrak kerja juga dilakukan oleh berbagai pihak demi melancarkan akses global bagi berkembangnya sekolah bertaraf internasional ini. Sampoerna Foundation sebagai salah satu institusi penggerak pendidikan di Indonesia pun akhirnya bersedia untuk melakukan kerjasama dengan pihak sekolah.
Apiliani Utami, seorang guru mata pelajaran Matematika mengatakan, “Itulah awal mula kenapa IGCSE diimplementasikan di sekolah ini. Pihak SF dan sekolah pada waktu itu berpikir bahwa IGCSE merupakan langkah inovatif dan produktif sebagai pilar utama dibentuknya sebuah sekolah bertaraf internasional.”. Perkembangan selanjutnya, status quo memang menunjukkan hal serupa di lapangan. Terhitung pertengahan tahun 2008, SMA Negeri 2 Sekayu telah resmi menggunakan kurikulum ini sebagai kurikulum formal dan wajib dalam proses pembelajaran sehari-hari. Beberapa guru professional pun didatangkan oleh pihak inisiator sebagai upaya strategis untuk membuktikannya.
Penulis masih dapat bernapas lega ketika peserta didik bersedia menerima dan memang secara keprofesionalitasan, pihak sekolah telah memenuhi kewajibannya dengan menyediakan guru yang “bisa” mengajarkan mapel yang tak biasa ini. Bahasa inggris sebagai bahasa pengantar dan utama dalam setiap pembelajaran mau tidak mau harus diterima secara konsekuen oleh peserta didik. Dipandang dari kacamata yang berbeda, penggunaan bahasa inggris mungkin akan memberikan dampak yang baik untuk kemampuan bahasa inggris para peserta didik. Sebut saja, peserta didik tidak akan mati gaya ketika istilah yang digunakan secara internasional suatu saat akan ditemui ketika menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pada awal tahun 2009, tepat setahun IGCSE itu diimplementasikan. Para guru ahli mapel tersebut ditarik oleh institusi inisiator denngan alasan administratif. “Katanya sih, udah nggak MOU lagi sama SF” komentar salah satu siswa yang kami wawancarai. “Padahal kan, baru setahun dan belum keliatan hasilnya seperti apa. “ tambahnya.
Ada dua hal yang tersorot dalam permasalahan yang timbul diatas. Pertama, keputusan untuk menimplementasikan kurikulum yang 180 derajat berbeda dengan kurikulum nasional pada sekolah ini memiliki kesan yag tergesa-gesa. Misalkan saja kurikulm asing ini akan benar-benar diimplementasikan, kenapa TOEFL sebagai salah satu tolak ukur kemampuan yang diakui secara gloabal tidak digunakan sebagai alat ukur tes masuk bagi siswa baru? Status quo malah menunjukkan hal berbeda dari ekspetasi penulis. Bukannya TOEFL sebagai tolak ukur, namun soal berkualitas sejajar dengan Ujian Nasional SMP bahasa inggris yang dijadikan tolak ukur dalm tes pemasukkan siswa baru. Permasalahan mendasar yang muncul ke permukaan sekarang adalah apakah peserta didik telah dianggap cukup mampu untuk memiliki IGCSE sebagai kurikulum mereka? Mengingat bahwa soal bahasa inggris sebagai the entry test belum bisa menjamin apakah mereka memiliki kemampuan bahasa inggris yang bagus. Terlebih lagi, buku pelajaran yang digunakan dalam kurikulum IGCSE ini juga didatangkan asli dari luar negeri yang tentunya memiliki kerumitan tersendiri dalam pengolahan kata dan maksud dalam bahasa inggris.
Kedua, dengan ditariknya guru ahli bidang mapel yang diajarkan dalam kurikulum IGCSE secara tidak langsung memberikan dampak psikologis yang cukup besar dalam diri peserta didik. Secara tidak sadar akan muncul kesan bahwa sekolah ini belum sepenuhnya siap untuk mengimplementasikan kurikulum IGCSE, sebagai dampak ditariknya guru-guru ahli tersebut. Pertanyaan mendasar kedua yang muncul adalah bagaimana kelanjutan kurikulum ini, apakah masih cukup bijakkah untuk tetap diteruskan? Dan apakah guru yang tersisa dapat dengan baik mengajarkan mapel yang diajarkan dengan ekspetasi kurikulum, mengingat bahwa guru pengganti tersebut bukanlah guru ahli yang secara khusus dipersiapkan untuk mengajar kurikulum asing ini. Normalnya siswa akan merasa ragu dan timbullah perasaan yang mengatakan bahawa “apa sih gunanya IGCSE buat saya?”.
“Waduh. Saya juga kerepotan dengan jadwal yang padat di kelas tiga. Materinya banyak, jadi kalo dihitung-hitung kami mengejar pelajaran satu setengah tahun yang tertinggal dalam satu semeseter. Lima kali lebih keras dari teman-teman saya di sekolah lain. Harusnya sih saya udah bisa akselerasi kalo dipikir-pikir.” ujar Syahrial Saputra, salah satu siswa kelas dua belas. Melihat lebih jauh dampak yang ditimbulkan dari IGCSE tampaknya seperti melihat gunung es. Tampak manis yang indah di luar, tapi akan menjadi bom besar ketika gunung es itu mencair.
Ujian nasional yang diselenggarakan setiap tahun oleh pemerintah pusat selalu menjadi momok besar bagi negeri ini. Hampir semua siswa merasa khawatir tidak lulus dengan standar yang selalu naik setip tahun namun dengan kualitas yang hampir nihil perubahannya. Problematika ini semakin bertambah rumit ketika peserta didik harus memiliki beban yang cukup serius dengan mengejar materi yang diujikan dalam waktu yang super cepat. Bayangkan, peserta didik kelas dua belas sekarang telah menyelesaikan materi IGCSE dalam waktu satu tahun setengah dan artinya bahwa mereka telah kehilangan delapan belas bulan untuk belajar materi nasional yang akan diujikan.
Fenomena ini bahkan merangkum sebuah pertanyan mega-besar dalam benak penulis dan mungkin juga anda. Apakah ujian nasional tetap diujikan bagi peserta didik yang belajar dengan kurikulum dan materi yang cukup berbeda dengan kurikulm nasional seperti IGCSE? Permasalahan ini akan cukup termaafkan ketika ujian internasional sebagai tolak ukur dan hasil jerih payah peserta didik kelas dua belas sekarang akan benar-benar terealisasi. Sekali lagi status quo telah memberikan jawaban yang jelas bahwa ujian internsional ini sulit direalisasikan. Kenapa? Penulis merangkum dua alasan menurut kepentingannya.
Dari segi material. Sebagai informasi bagi pembaca, untuk mengikuti ujian internasional ini peserta didik harus rela merogoh kocek sampai beberapa juta untuk satu kali ujian. Anggaplah satu mapel dihargai dengan Rp. 1.000.000,00 sedangkan mapel yang dipelajari berjumlah enam mapel yang terdiri dari matematika, bahasa inggris, teknologi informasi dan telekomunikasi, biologi, fisika dan kimia. Rasionalnya satu setengah tahun belajar mapel yang sama pasti menimbulkan suatu keinginan untuk mengikuti semua ujian mapel tersebut. Terlepas apakah hasilnya nanti akan meuaskan atau tidak. Secara langsung dapat kita kalkulasikan bahwa untuk mengikuti ujian internasional tersebut, maka paling tidak seorang peserta didik harus membayar sebesar Rp 6.000.000,00. Jangankan untuk enam juta rupiah per ujian, bahkan untuk membeli buku pelajaran yang dipergunakan dalam kurikulum IGCSE saja penulis berani bertaruh bahwa banyak yang memiliki kesulitan dalam membelinya. Maklum, satu buku impor ini memiliki harga minimum sebasar Rp 200.000,00. Sekarang yang menjadi harapan adalah subsidi pemerintah yang mungkin bersedia menanggung biaya ujian internasional.
Namun, hal ini akan menimbulkan banyak masalah diantaranya kecemburuan sosial antar sekolah di kabupaten tersebut terkait dengan , masalah ujian ini. Mengingat bahwa pemerintah daerah telah memberikan atensi yang besar dalam perkembangan sekolah ini sehingga dikhawatirkan akan timbulnya rasa iri dari sekola-sekolah lain khususnya di wilayah Sekayu. Dengan adanya hal tersebut harapan ke depan adalah SMA Negeri 2 Sekayu bisa lebih baik, menyangkut kebijakan dan sistem pembelajaan agar bisa di implementasi dengan baik agar siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, serta pemerintah merasa nyaman dan bangga akan hadirnya SMA Negeri 2 Sekayu di Musi Banyuasin Sumatera Selatan ini.
(tugas artikel bahasa indonesia, oleh ; Lestari Wevriandini dan Duwi Riyadi Putra)
Pagi yang cerah dan tertutup kabut tidak menghalangi semangat beberapa remaja berseragam khas itu untuk pergi ke sekolah. Dengan bermodalkan sepeda pamannya, Gerry Utama tetap bersemangat mengayuh kencang sepedanya di pagi hari bahkan mungkin sedikit lebih pagi untuk pergi ke sekolah bagi siswa sekolah lain di kota itu. Tampak beberapa remaja berseragam sama juga melakukan aktivitas yang sama seperti yang dilakukan oleh Gerry. Beberapa dari mereka bahkan ada yang menggunakan jasa angkutan umum walaupun tidak sedkit juga yang meiliki alat transportasi pribadi untuk berangkat ke sekolah.
Perlahan dari kejauhan para remaja berseragam khas tersebut lambat laun mendekati sebuah bangunan nan elok indah dengan gerbang megah bertuliskan SMA NEGERI 2 SEKAYU. Sebuah sekolah negeri yang secara resmi menyandang gelar sebagai sekolah berstandar internasional di sebuah kabupaten dalam provinsi Sumatera Selatan. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, aktivitas berbeda pun tampak di pekarangan gedung sekolah beraksitektur minimalis ini. Seluruh peserta didik membentuk barisan dan melaksanakan kegiatan seremonial layaknya sebuah upacara mini atau yang lebih dikenal dengan apel.
Namun, hal menarik yang akan kami bahas dalam artikel ini tidaklah mengenai permasalahan apel ataupun jadwal masuk yang sangat “subuh” ini, melainkan permasalahan yang membetot perhatian khalayak ramai sehingga para orangtua secara berbondong-bondong menyerahkan nasib anaknya selama tiga tahun ke depan berada pada sekolah itu. Hal ini adalah kurikulum asing yang diterapkan dengan singkatan IGCSE. Asing mungkin iya bagi para pembaca, namun tidak bagi peserta didik di sekolah yang berdiri di awal tahun 90-an itu.
International General Certificate Secondary Education atau sertifikat internasional pendidikan menengah adalah kurikulum yang dipersiapkan untuk menghadapi ujian internasional bagi siswa sekolah menengah. Idealnya, IGCSE dikhususkan untuk anak berusia 14-16 tahun, dan untuk menyiapkan siswa ke jenjang berikutnya, seperti AS level, A level dan program diploma IB di Negara asalnya, Inggris. Mungkin inilah yang membuat sekolah ini untuk bersedia mengimplementasikan kurikulum yang serupa, mengingat untk mendapatkan gelar sekolah bertaraf internasional membutuhkan suatu bukti yang “internasional” juga.
Pada awal tahun 2008, sekolah yang merintis citra sebagai sekolah unggulan ini mendapatkan kepercayaan penuh dari pemerintah daerah untuk mengemban amanat sebagai salah satu asset daerah yang harus ditingkatkan dalam berbagai hal, termasuk fasilitas yang memadai. Berbagai hal dan terobosan terus menerus dilakukan oleh pemerintah daerah demi mewujudkan ambisi yang cukup mulia tersebut. Sebut saja, peminangan Ibu Wien Sukarsih yang didaulat sebagai kepala sekolah baru di sekolah yang mengemban citra baru tersebut. Kerjasama dan kontrak kerja juga dilakukan oleh berbagai pihak demi melancarkan akses global bagi berkembangnya sekolah bertaraf internasional ini. Sampoerna Foundation sebagai salah satu institusi penggerak pendidikan di Indonesia pun akhirnya bersedia untuk melakukan kerjasama dengan pihak sekolah.
Apiliani Utami, seorang guru mata pelajaran Matematika mengatakan, “Itulah awal mula kenapa IGCSE diimplementasikan di sekolah ini. Pihak SF dan sekolah pada waktu itu berpikir bahwa IGCSE merupakan langkah inovatif dan produktif sebagai pilar utama dibentuknya sebuah sekolah bertaraf internasional.”. Perkembangan selanjutnya, status quo memang menunjukkan hal serupa di lapangan. Terhitung pertengahan tahun 2008, SMA Negeri 2 Sekayu telah resmi menggunakan kurikulum ini sebagai kurikulum formal dan wajib dalam proses pembelajaran sehari-hari. Beberapa guru professional pun didatangkan oleh pihak inisiator sebagai upaya strategis untuk membuktikannya.
Penulis masih dapat bernapas lega ketika peserta didik bersedia menerima dan memang secara keprofesionalitasan, pihak sekolah telah memenuhi kewajibannya dengan menyediakan guru yang “bisa” mengajarkan mapel yang tak biasa ini. Bahasa inggris sebagai bahasa pengantar dan utama dalam setiap pembelajaran mau tidak mau harus diterima secara konsekuen oleh peserta didik. Dipandang dari kacamata yang berbeda, penggunaan bahasa inggris mungkin akan memberikan dampak yang baik untuk kemampuan bahasa inggris para peserta didik. Sebut saja, peserta didik tidak akan mati gaya ketika istilah yang digunakan secara internasional suatu saat akan ditemui ketika menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pada awal tahun 2009, tepat setahun IGCSE itu diimplementasikan. Para guru ahli mapel tersebut ditarik oleh institusi inisiator denngan alasan administratif. “Katanya sih, udah nggak MOU lagi sama SF” komentar salah satu siswa yang kami wawancarai. “Padahal kan, baru setahun dan belum keliatan hasilnya seperti apa. “ tambahnya.
Ada dua hal yang tersorot dalam permasalahan yang timbul diatas. Pertama, keputusan untuk menimplementasikan kurikulum yang 180 derajat berbeda dengan kurikulum nasional pada sekolah ini memiliki kesan yag tergesa-gesa. Misalkan saja kurikulm asing ini akan benar-benar diimplementasikan, kenapa TOEFL sebagai salah satu tolak ukur kemampuan yang diakui secara gloabal tidak digunakan sebagai alat ukur tes masuk bagi siswa baru? Status quo malah menunjukkan hal berbeda dari ekspetasi penulis. Bukannya TOEFL sebagai tolak ukur, namun soal berkualitas sejajar dengan Ujian Nasional SMP bahasa inggris yang dijadikan tolak ukur dalm tes pemasukkan siswa baru. Permasalahan mendasar yang muncul ke permukaan sekarang adalah apakah peserta didik telah dianggap cukup mampu untuk memiliki IGCSE sebagai kurikulum mereka? Mengingat bahwa soal bahasa inggris sebagai the entry test belum bisa menjamin apakah mereka memiliki kemampuan bahasa inggris yang bagus. Terlebih lagi, buku pelajaran yang digunakan dalam kurikulum IGCSE ini juga didatangkan asli dari luar negeri yang tentunya memiliki kerumitan tersendiri dalam pengolahan kata dan maksud dalam bahasa inggris.
Kedua, dengan ditariknya guru ahli bidang mapel yang diajarkan dalam kurikulum IGCSE secara tidak langsung memberikan dampak psikologis yang cukup besar dalam diri peserta didik. Secara tidak sadar akan muncul kesan bahwa sekolah ini belum sepenuhnya siap untuk mengimplementasikan kurikulum IGCSE, sebagai dampak ditariknya guru-guru ahli tersebut. Pertanyaan mendasar kedua yang muncul adalah bagaimana kelanjutan kurikulum ini, apakah masih cukup bijakkah untuk tetap diteruskan? Dan apakah guru yang tersisa dapat dengan baik mengajarkan mapel yang diajarkan dengan ekspetasi kurikulum, mengingat bahwa guru pengganti tersebut bukanlah guru ahli yang secara khusus dipersiapkan untuk mengajar kurikulum asing ini. Normalnya siswa akan merasa ragu dan timbullah perasaan yang mengatakan bahawa “apa sih gunanya IGCSE buat saya?”.
“Waduh. Saya juga kerepotan dengan jadwal yang padat di kelas tiga. Materinya banyak, jadi kalo dihitung-hitung kami mengejar pelajaran satu setengah tahun yang tertinggal dalam satu semeseter. Lima kali lebih keras dari teman-teman saya di sekolah lain. Harusnya sih saya udah bisa akselerasi kalo dipikir-pikir.” ujar Syahrial Saputra, salah satu siswa kelas dua belas. Melihat lebih jauh dampak yang ditimbulkan dari IGCSE tampaknya seperti melihat gunung es. Tampak manis yang indah di luar, tapi akan menjadi bom besar ketika gunung es itu mencair.
Ujian nasional yang diselenggarakan setiap tahun oleh pemerintah pusat selalu menjadi momok besar bagi negeri ini. Hampir semua siswa merasa khawatir tidak lulus dengan standar yang selalu naik setip tahun namun dengan kualitas yang hampir nihil perubahannya. Problematika ini semakin bertambah rumit ketika peserta didik harus memiliki beban yang cukup serius dengan mengejar materi yang diujikan dalam waktu yang super cepat. Bayangkan, peserta didik kelas dua belas sekarang telah menyelesaikan materi IGCSE dalam waktu satu tahun setengah dan artinya bahwa mereka telah kehilangan delapan belas bulan untuk belajar materi nasional yang akan diujikan.
Fenomena ini bahkan merangkum sebuah pertanyan mega-besar dalam benak penulis dan mungkin juga anda. Apakah ujian nasional tetap diujikan bagi peserta didik yang belajar dengan kurikulum dan materi yang cukup berbeda dengan kurikulm nasional seperti IGCSE? Permasalahan ini akan cukup termaafkan ketika ujian internasional sebagai tolak ukur dan hasil jerih payah peserta didik kelas dua belas sekarang akan benar-benar terealisasi. Sekali lagi status quo telah memberikan jawaban yang jelas bahwa ujian internsional ini sulit direalisasikan. Kenapa? Penulis merangkum dua alasan menurut kepentingannya.
Dari segi material. Sebagai informasi bagi pembaca, untuk mengikuti ujian internasional ini peserta didik harus rela merogoh kocek sampai beberapa juta untuk satu kali ujian. Anggaplah satu mapel dihargai dengan Rp. 1.000.000,00 sedangkan mapel yang dipelajari berjumlah enam mapel yang terdiri dari matematika, bahasa inggris, teknologi informasi dan telekomunikasi, biologi, fisika dan kimia. Rasionalnya satu setengah tahun belajar mapel yang sama pasti menimbulkan suatu keinginan untuk mengikuti semua ujian mapel tersebut. Terlepas apakah hasilnya nanti akan meuaskan atau tidak. Secara langsung dapat kita kalkulasikan bahwa untuk mengikuti ujian internasional tersebut, maka paling tidak seorang peserta didik harus membayar sebesar Rp 6.000.000,00. Jangankan untuk enam juta rupiah per ujian, bahkan untuk membeli buku pelajaran yang dipergunakan dalam kurikulum IGCSE saja penulis berani bertaruh bahwa banyak yang memiliki kesulitan dalam membelinya. Maklum, satu buku impor ini memiliki harga minimum sebasar Rp 200.000,00. Sekarang yang menjadi harapan adalah subsidi pemerintah yang mungkin bersedia menanggung biaya ujian internasional.
Namun, hal ini akan menimbulkan banyak masalah diantaranya kecemburuan sosial antar sekolah di kabupaten tersebut terkait dengan , masalah ujian ini. Mengingat bahwa pemerintah daerah telah memberikan atensi yang besar dalam perkembangan sekolah ini sehingga dikhawatirkan akan timbulnya rasa iri dari sekola-sekolah lain khususnya di wilayah Sekayu. Dengan adanya hal tersebut harapan ke depan adalah SMA Negeri 2 Sekayu bisa lebih baik, menyangkut kebijakan dan sistem pembelajaan agar bisa di implementasi dengan baik agar siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, serta pemerintah merasa nyaman dan bangga akan hadirnya SMA Negeri 2 Sekayu di Musi Banyuasin Sumatera Selatan ini.
Sekian laporan kami langsung dari Sekayu, terima kasih :DD
ReplyDeleteyaelah.. kirain apa tante tadi commentya.....
ReplyDeleteckckckckck :((