Beberapa hari ini aku teringat akan kematian, sedih memang membayangkannya jika selama hidup tidak pernah beribadah kepadaNya karena tidak ada sebuah persiapan untuk menghadapNya.
Respon merinding timbul ketika salah satu pendakwah kondang, seorang ustadz yang cukup berkiprah sebagai pendakwah populer yang dikenal tawaddu', ramah dan menyayangi saudara-saudaranya baik muslim maupun non muslim. siapa lagi kalo bukan ustadz yang kerap kita sapa "UJE".
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, semoga amal ibadahnya diterima disisi Allah SWT. Amin amin ya rabbal'alamin.
Subhanallah sekali, siapa yang tidak iri dengan kematian beliau, orang yang selalu melakukan kebaikan di dalam hidupnya, kemudian meninggal di hari Jumat dan berjuta orang mendoakan jasadnya.
wallahualam, insyaAllah khusnul khatimah.
sempat terpikirkah kawan? inginkah kita meninggal dalam keadaan seperti itu? siapa yang bisa menghantarkan kecuali amal ibadah kita.
astaghfirulllah, masih jauh sekali rasanya......
sekedar mengutip sebuah puisi yang mengingatkan kita pada kematian, mengingat pesan Allah dan Rasulullah tentang kematian, mengingatkan bahwa kematian itu sangat dekat, sudah siapkah kita?
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa:
sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Allah
bahwa rumahku hanya titipanNya,
bahwa hartaku hanya titipanNya,
bahwa putraku hanya titipanNya,
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
diminta kembali olehNya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa
itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku".
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah...
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
(W.S RENDRA)
"Mati adalah pintu, setiap makhlukNya pasti melewatinya"
"Sungguh umatku yg paling cerdas dan paling mulia adalah umatku yg paling banyak ingat mati lalu mempersiapkan diri setelah mati"
Allah SWT berfirman;
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh"(Qs.An-Nissa :78)
“Perbanyaklah mengingat kematian maka kamu akan terhibur dari (kelelahan) dunia, dan hendaklah kamu bersyukur. Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Allah, dan perbanyaklah doa. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui kapan doamu akan terkabul.” (HR. Ath-Thabrani)
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada. Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku ….
(B.J. Habibie untuk Ainun)
bismillah, semoga kita selalu dilindungi dan dibimbing untuk melakukan segala kebajikan di dunia untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya seindah-indahnya untuk menghadapNya.
(1/5/13)
Comments
Post a Comment